ACADEMICS.web.id – Dalam lanskap keberagamaan modern, kita sering kali mendapati kecenderungan manusia untuk mengaitkan eksistensi Tuhan dengan sesuatu yang kasat mata. Barangkali ini adalah warisan psikologis manusia sejak lama: bahwa yang terlihat dianggap lebih meyakinkan, sementara yang tidak tampak acap kali dicurigai sebagai ketiadaan. Namun Islam menawarkan perspektif yang berbeda—lebih jernih, lebih konseptual, dan lebih elegan. Melalui Asmaul Husna, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, salah satunya Wujud, yang menegaskan keberadaan-Nya secara mutlak. Allah ada, bukan karena terlihat, tetapi karena keberadaan-Nya melampaui batasan visual dan keterikatan fisik.
Pada titik inilah relevan untuk menelaah keterbatasan cara pandang manusia, karena kita hidup dalam dunia yang menjadikan indra sebagai alat verifikasi utama. Apa yang tidak tertangkap mata kadang serta-merta dianggap tidak ada. Padahal, Al-Qur’an telah jauh hari memberikan koreksi mendasar:
لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
“Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, tetapi Dia dapat melihat segala penglihatan itu; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini adalah pernyataan tegas bahwa ketidakmampuan penglihatan manusia untuk menangkap Allah bukanlah indikasi ketiadaan, tetapi justru bukti kesempurnaan-Nya. Allah melampaui kategori makhluk. Ia tidak terbatasi ruang, tidak tersusun materi, dan tidak tunduk pada hukum-hukum fisika.
Di titik inilah kita harus jujur mengakui keterbatasan indra. Sedang fenomena alam semesta—keteraturan galaksi, ritme kehidupan, hukum sebab-akibat—semuanya adalah tanda (ayat kauniyyah) yang menunjuk kepada keberadaan-Nya. Dengan kata lain, yang tidak terlihat bukan berarti tidak nyata; justru sering kali yang paling nyata memang tidak terlihat.
Sejarah memperlihatkan bahwa manusia kerap tergoda untuk memvisualkan Tuhan dalam rupa makhluk. Namun Islam membentang garis tegas:
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Sifat Mukhalafatul Lil Hawadits menjadi fondasi bahwa Allah berbeda dari segala sesuatu yang baru (makhluk). Imam al-Ghazali menyebut dengan sangat indah bahwa segala yang terlintas dalam benak bukanlah Allah. Maka siapa pun yang membayangkan Allah dalam bentuk apa pun, sejatinya sedang membayangkan sesuatu selain-Nya.
Demikianlah bahwa keunikan dari sifat Wujud Allah terletak pada fakta bahwa keberadaan-Nya tidak membutuhkan bentuk. Ia hadir tanpa terikat fisik, ada tanpa rupa, dan dekat tanpa jarak. Justru inilah letak keagungan-Nya.
Dalam dunia yang semakin menuntut bukti visual, prinsip teologis tentang sifat Wujud datang sebagai koreksi sekaligus pengingat. Bahwa tidak semua kebenaran harus terlihat. Tidak semua yang tampak itu nyata, dan tidak semua yang tidak tampak itu tiada.
Allah yang tidak terlihat justru menghadirkan kehadiran yang paling nyata. Ia menembus nalar, menenangkan hati, dan menghidupkan seluruh ciptaan. Di sinilah letak keindahan konsep Wujud: menghadirkan Allah sebagai Tuhan yang melampaui visualitas, namun sangat dekat bagi setiap hamba yang merenung.
Sebagaimana segala hal besar dalam hidup tidak selalu bisa disentuh, Allah yang Maha Wujud hadir untuk diyakini—bukan dipandang—dan untuk diimani—bukan dibayangkan.
Wallahu A’lam bi al-Showab.
Faiz Ramadhan adalah siswa SMA kelas 10 IPA di Sekolah Internasional Bakti Mulya 400 Cibubur


















