ACADEMICS.web.id – Tidak jarang khazanah literatur Islam klasik memuat catatan historis yang melampaui fungsi pencatatan peristiwa semata. Ia sekaligus membuka ruang refleksi moral dan intelektual bagi pembacanya, sehingga sejarah tampil sebagai medan perenungan nilai-nilai. Hal ini sejatinya bukan ingin berlebih-lebihan tapi memang salah satu ciri menonjol dalam tradisi historiografi Islam adalah orientasinya pada pendidikan moral. Peristiwa-peristiwa sejarah tidak disajikan sebagai kisah netral yang dingin, melainkan diolah agar pembaca dapat menarik makna normatif darinya.
Dalam konteks ini, saya mengajukan salah satu manuskrip yang sangat menarik untuk kita kupas dalam tulisan pendek ini yang berjudul اليهود؛ مجموعة قصص وأخبار من صحيح السنة والآثار (al-Yahud: Majmu‘ah Qiṣaṣ wa Akhbar min Ṣaḥiḥ al-Sunnah wa al-Athar – Yahudi: Kumpulan Cerita dan Berita dari Riwayat Sahih Sunnah dan Atsar). Dalam manuskrip ini, terdapat kompilasi riwayat sahih yang merekam secara naratif aktifitas Nabi Muhammad SAW dan komunitas Muslim awal dalam interaksi dengan kelompok Yahudi di Madinah dan sekitarnya.
Kenapa manuskrip ini? Alasannya karena ia disusun berdasarkan sumber-sumber hadis dan atsar yang otoritatif, lalu ditata dalam beberapa faṣl (bab) tematik. Setiap bab mengulas aspek tertentu, mulai dari sikap teologis, relasi sosial, pelanggaran perjanjian, konflik terbuka, hingga dialog-dialog hukum dan etik. Dengan struktur semacam ini, manuskrip tersebut tidak berhenti pada fungsi dokumentatif, tetapi juga bersifat pedagogis, karena setiap narasi diarahkan untuk melahirkan fawa’id (faedah) dan ‘ibar (pelajaran) yang tentu saja relevan dalam pembentukan karakter Muslim. Oleh karena itu, manuskrip ini secara konsisten menutup hampir setiap bab dengan bagian al-Fawa’id wa al-‘Ibar, sebuah penegasan bahwa sejarah, dalam perspektif Islam, adalah sarana pembentukan karakter.
Salah satu contoh riwayat dalam manuskrip ini yang bisa kita jadikan ethical reflection adalah tentang sifat iri-dengki yang diyakini melekat pada sebagian kelompok Yahudi. Pada halaman 45-46 manuskrip ini ditampilkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang seorang Yahudi yang menyampaikan salam dengan lafaz bermakna doa sumpah serapah kepada Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ يَهُودِيٌّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: السَّامُ عَلَيْكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَعَلَيْكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ؟ قَالَ: السَّامُ عَلَيْكَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ؟ قَالَ: لَا، إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seorang Yahudi pernah melewati Rasulullah SAW, lalu ia berkata: ‘As-sāmu ‘alaika (semoga kematian menimpamu).’ Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Wa ‘alaika (dan semoga menimpamu juga).’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang ia ucapkan?’ Mereka berkata: ‘Ia mengucapkan as-sāmu ‘alaika.’ Mereka (para sahabat) berkata: ‘Wahai Rasulullah, tidakkah kami bunuh dia?’ Beliau bersabda: ‘Jangan. Jika ahli kitab memberi salam kepada kalian, maka ucapkanlah: wa ‘alaikum.’” (HR. Al-Bukhari)
Respons Nabi yang tetap santun dan tanpa membalas dengan kekerasan atau amarah menjadi teladan etika bermuamalah. Penulis manuskrip, dalam bagian “Al-Fawa’id wal-‘Ibar” setelahnya menegaskan bahwa inti pelajaran dari peristiwa ini bukan sekadar kecerdikan linguistik Nabi, melainkan keteguhan beliau dalam menjaga adab sosial bahkan ketika berhadapan dengan sikap provokatif. Di sini, etika ditempatkan lebih tinggi daripada dorongan reaktif, sebuah prinsip yang terbukti relevan lintas zaman.
Dalam perspektif pendidikan Islam, pendekatan semacam ini sejalan dengan gagasan bahwa akhlak tidak diajarkan melalui doktrin abstrak semata, tetapi melalui keteladanan konkret. Sejarah, dengan demikian, berfungsi sebagai hidden curriculum yang membentuk sensitivitas moral pembacanya.
Manuskrip ini juga memuat narasi konflik, salah satunya kisah Bani Quraizhah yang dianggap melanggar perjanjian damai dengan Nabi Muhammad SAW. Riwayat tentang peristiwa ini menggambarkan proses penegakan keadilan yang keras namun prosedural. Keputusan diserahkan kepada Sa‘ad bin Mu‘adz, tokoh yang dipilih dan diterima oleh pihak yang bersangkutan. Ketegasan hukuman yang dijatuhkan tidak dilepaskan dari konteks pengkhianatan dalam situasi genting, ketika stabilitas komunitas Muslim berada dalam ancaman.
Penulis manuskrip menekankan bahwa pelajaran utama dari kisah ini bukan glorifikasi kekerasan, melainkan penegasan prinsip bahwa perjanjian memiliki konsekuensi moral dan hukum yang serius. Dalam Islam, ‘aqd (perjanjian) bukan sekadar kesepakatan politis, tetapi ikatan etis yang pelanggarannya berdampak luas bagi tatanan sosial.
Jika dibaca dengan pendekatan sejarah kritis, kisah ini juga memperlihatkan bahwa keadilan dalam Islam tidak dijalankan secara sewenang-wenang. Ia melalui mekanisme musyawarah, legitimasi sosial, dan kerelaan pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, ketegasan hukum berjalan beriringan dengan prinsip akuntabilitas.
Selain narasi sosial-politik, manuskrip ini menyajikan pembahasan teologis mengenai posisi Yahudi dalam perspektif Islam. Salah satu riwayat yang dikutip adalah penafsiran tentang kelompok al-maghdhub ‘alayhim dalam Surah al-Fatiḥah, yang dikaitkan dengan kaum yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya. Penulis menegaskan bahwa kemurkaan ilahi bukan disebabkan oleh identitas etnis atau komunitas semata, melainkan oleh kegagalan moral dalam mengintegrasikan pengetahuan dan tindakan.
Penekanan pada relasi antara ilmu dan amal ini merupakan tema sentral dalam etika Islam. Ilmu yang tidak melahirkan tanggung jawab justru dipandang sebagai beban moral. Dalam konteks kontemporer, pesan ini melampaui batas-batas historis komunitas tertentu dan menjadi peringatan universal bagi siapa pun yang mengklaim otoritas pengetahuan.
Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah membaca manuskrip semacam ini di era modern menuntut kedewasaan intelektual. Narasi sejarah tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik zamannya. Upaya memindahkan kisah-kisah tersebut secara literal ke dalam realitas kontemporer tanpa kerangka kritis berpotensi melahirkan simplifikasi dan bahkan justifikasi permusuhan.
Sebaliknya, pendekatan yang lebih konstruktif adalah membaca sejarah sebagai cermin potensi manusiawi yakni kemampuan untuk setia atau berkhianat, untuk adil atau zalim, untuk menahan diri atau meluapkan amarah. Dalam bingkai ini, kisah-kisah tentang Yahudi dalam manuskrip tersebut tidak dimaksudkan sebagai stigmatisasi abadi terhadap kelompok tertentu, melainkan sebagai peringatan etis tentang konsekuensi pilihan moral.
Hal ini sejalan dengan sikap Nabi Muhammad SAW yang tetap memberikan penghormatan kepada individu-individu Yahudi yang bersikap jujur dan adil, bahkan kepada mereka yang kemudian memeluk Islam. Penilaian dalam Islam selalu bersifat individual dan berbasis amal, bukan semata latar belakang sosial atau genealogis.
Setidaknya, manuskrip ini merupakan contoh bagaimana sejarah dalam tradisi Islam diposisikan sebagai sumber kebijaksanaan. Ia merekam kompleksitas relasi antarumat beragama, sekaligus menawarkan panduan etis bagi pembacanya. Membacanya dengan sikap kritis, empatik, dan kontekstual adalah langkah penting untuk mengubah memori sejarah menjadi modal peradaban.
Sejarah, dalam pandangan Islam, adalah ‘ibrah, pelajaran yang menuntun, bukan senjata yang melukai. Dengan menjadikannya ruang refleksi, kita tidak hanya merawat ingatan kolektif, tetapi juga meneguhkan komitmen untuk membangun masa depan yang lebih adil, beradab, dan manusiawi. Wallahu a’lam bi ashowab @
Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D adalah Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, di IRDAK Institute of Singapore, di Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS), Anggota Dewan Masjid Indonesia Kota Batam, Anggota ICMI Prov. Kepri, Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Prov. Kepri, guru PAI Bakti Mulya 400, dan dosen di beberapa kampus yang juga aktif menulis mengenai isu-isu pendidikan selain politik, sosial, dan ekonomi.












