ACADEMICS.web.id – Di tengah derasnya arus globalisasi dan kapitalisme, masyarakat Muslim menghadapi dua tantangan sekaligus: krisis spiritual dan ketidakadilan struktural. Ketimpangan ekonomi, penindasan politik, dan diskriminasi sosial bukan lagi fenomena lokal, melainkan realitas global. Namun, yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana tradisi intelektual Islam sendiri menyimpan potensi besar untuk menjadi basis gerakan pembebasan sosial—salah satunya melalui Tasawuf Irfani.
Tasawuf Irfani, yang berakar pada pengalaman batin (ma‘rifah) dan penyaksian langsung terhadap kebenaran ilahi (kasyf), sering disalahpahami sebagai jalan mistik yang menjauhkan diri dari realitas sosial. Padahal, jika dipahami secara utuh, ia memuat etika revolusioner yang berlandaskan kesadaran kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tanggung jawab insan kamil untuk menjadi manifestasi keadilan Tuhan di bumi.
Artikel ini berusaha menggali bagaimana Tasawuf Irfani dapat dibaca sebagai teologi pembebasan—suatu kerangka pemikiran yang memadukan spiritualitas dengan perjuangan sosial—dengan menelusuri ajaran para sufi besar seperti Ibnu Arabi, Al-Qusyairi, dan Syamsuddin al-Fanari, serta mengaitkannya dengan tantangan kontemporer.
Tasawuf Irfani: Jalan Ma‘rifah dan Kesadaran Kosmik
Tasawuf Irfani berbeda dari tasawuf akhlaqi yang menekankan pembentukan moral melalui disiplin syariat, dan juga berbeda dari tasawuf falsafi yang murni bersifat spekulatif. Irfani menggabungkan keduanya, tetapi memberi penekanan pada pengetahuan langsung terhadap realitas hakiki melalui penyaksian batin.
Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah menulis:
“وَمَا عَرَفَ الْحَقَّ مَنْ لَمْ يَرَ الْحَقَّ فِي كُلِّ شَيْءٍ، بَلْ رَآهُ عَيْنَ كُلِّ شَيْءٍ”
“Tidaklah seseorang mengenal Tuhan kecuali ia melihat Tuhan dalam segala sesuatu, bahkan melihat-Nya sebagai hakikat dari segala sesuatu.”
Pernyataan ini adalah inti dari wahdat al-wujud, kesadaran bahwa semua wujud adalah manifestasi dari Wujud Mutlak. Kesadaran ini menghapus dikotomi “kita” dan “mereka” yang menjadi akar diskriminasi sosial. Jika semua adalah tajalli (penampakan) Allah, maka merendahkan sesama sama saja dengan merendahkan ciptaan-Nya.
Teologi Pembebasan dalam Perspektif Islam
Dalam tradisi Islam, pembelaan terhadap kaum tertindas (al-mustadh‘afin) bukan hanya urusan moral, tetapi juga teologis. Al-Qur’an secara tegas menyeru:
“وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ” (QS. An-Nisa’ [4]: 75)
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas…?”
Teologi pembebasan yang berkembang di dunia Kristen Amerika Latin berangkat dari prinsip serupa: iman sejati harus berpihak pada korban ketidakadilan. Dalam Islam, prinsip ini berakar pada konsep al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, yang dalam kacamata irfani tidak hanya berarti mencegah kemungkaran hukum, tetapi juga kemungkaran struktural yang menindas martabat manusia.
Integrasi Irfan dan Teologi Pembebasan
Mengapa Tasawuf Irfani relevan dengan pembebasan sosial? Jawabannya terletak pada transformasi batin yang dihasilkannya. Jalan irfani melibatkan proses fana’ (lenyapnya ego) dan baqa’ (kekekalan dalam sifat-sifat Tuhan).
Seseorang yang mengalami fana’ dari kepentingan pribadi akan terlepas dari rasa takut terhadap penguasa zalim atau kehilangan materi. Ia akan berani bersuara karena ia hidup dalam kesadaran baqa’ bersama al-Haqq (Dzat Yang Maha Nyata). Ibnu Arabi menyebut insan kamil sebagai “mata air rahmat” bagi semesta—ia tidak hanya beribadah, tetapi juga menegakkan keadilan.
Syamsuddin al-Fanari dalam Mishbah al-Uns menegaskan bahwa ma‘rifah sejati harus melahirkan amal yang sesuai dengan kehendak Tuhan, termasuk menolak kezaliman. Dengan demikian, irfani yang sejati tidak akan membiarkan dirinya terkurung dalam kontemplasi tanpa aksi sosial.
Dimensi Revolusioner Tasawuf Irfani
Banyak orang mengira tasawuf adalah jalan pasif. Namun, sejarah menunjukkan banyak sufi yang memimpin perlawanan terhadap penindasan. Sebut saja, Abdul Qadir al-Jazairi memimpin perlawanan melawan kolonial Prancis di Aljazair, yang terinspirasi oleh ajaran tasawuf tentang amanah khalifah Allah. Atau Utsman dan Syekh Ahmad Bamba di Afrika Barat menggunakan jaringan tarekat untuk melawan kolonialisme.
Dalam kerangka irfani, keberanian mereka lahir dari kesadaran bahwa hidup dan mati adalah milik Allah semata—tidak ada yang perlu ditakuti kecuali kehilangan ridha-Nya.
Kesadaran wahdat al-wujud menciptakan solidaritas universal: penderitaan orang lain adalah penderitaan kita sendiri. Ini adalah landasan psikospiritual bagi gerakan pembebasan.
Penerapan dalam Konteks Kontemporer
Bagaimana irfani bisa diterapkan hari ini? Ada tiga jalur utama:
- Pendidikan Spiritual Kritis
– Mengajarkan irfan bukan hanya sebagai ilmu batin, tetapi juga kesadaran sosial.
– Mengintegrasikan studi tasawuf klasik seperti al-Futuhat al-Makkiyyah dan ar-Risalah al-Qusyayriyyah dalam kurikulum yang relevan dengan isu kemiskinan, ekologi, dan HAM. - Gerakan Sosial Berbasis Spiritualitas
– Menggunakan prinsip tasawuf dalam membangun gerakan non-kekerasan melawan korupsi dan ketidakadilan.
– Memaknai dzikir kolektif sebagai bentuk pembentukan kesadaran dan solidaritas. - Etika Ekonomi Irfani
– Menolak akumulasi kekayaan berlebihan karena semua harta adalah amanah Tuhan.
– Mengembangkan model ekonomi berbasis keadilan distributif, selaras dengan prinsip al-‘adl.
Kesimpulan
Tasawuf Irfani, jika dibaca secara utuh, menyimpan potensi besar sebagai teologi pembebasan. Kesadaran wahdat al-wujud menumbuhkan empati mendalam dan menghapus batas-batas semu antar manusia. Konsep insan kamil mendorong setiap individu untuk menjadi agen keadilan ilahi.
Di tengah ketidakadilan sosial, irfan bukanlah pelarian dari realitas, melainkan sumber energi spiritual untuk mengubahnya. Dengan mengintegrasikan jalan batin dan aksi sosial, Tasawuf Irfani dapat menjadi jembatan antara spiritualitas dan perjuangan kemanusiaan, menghidupkan kembali pesan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A’lam.@
(K.H. Dahyal Afkar, Lc)