Ilm sebagai Sifat Ketuhanan: Analisis Teologis tentang Maha Mengetahui dalam Islam | Oleh: Kenzie Iba Saputra Lenggana

Siswa SMA Internasional Bakti Mulya 400 Cibubur

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Dalam tradisi teologi Islam klasik, para ulama merumuskan dua puluh sifat wajib bagi Allah SWT—seperangkat karakter ilahi yang menggambarkan kesempurnaan-Nya, menjauhkan manusia dari gambaran yang keliru tentang Tuhan, serta menjadi fondasi bagi pemahaman akidah yang lurus. Di antara sifat-sifat tersebut terdapat Wujud (وجود), Qudrah (قدرة), Iradah (إرادة), Sama’ (سَمَع), Basar (بَصَر), Kalam (كلام), dan Ilm (علم). Masing-masing bukan sekadar kategori teologis, tetapi jendela untuk memahami keagungan Allah SWT.

Ilm sebagai Sifat Ketuhanan yang Menyeluruh

Di antara sifat-sifat tersebut, Ilm—yang berarti pengetahuan—menempati posisi yang sangat penting. Dalam perspektif Islam, pengetahuan Allah tidak dibatasi ruang, waktu, atau keadaan. Ia meliputi masa lalu, masa kini, dan masa depan; mencakup yang tampak di mata dan yang tersembunyi di lubuk hati manusia. Pengetahuan Allah tidak bertambah karena belajar dan tidak berkurang karena lupa, sebab pengetahuan-Nya bersifat azali dan abadi.

banner 336x280

Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam banyak ayat. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 disebutkan: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Sementara Surah Al-An’am ayat 59 memperkuat keluasan ilmu-Nya melalui gambaran yang sangat halus:

“Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui.”

Ayat ini memberikan ilustrasi bahwa ilmu Allah mencakup bahkan peristiwa paling sederhana dan paling kecil, menegaskan bahwa tidak ada apa pun—sekecil apa pun—yang berada di luar pengetahuan-Nya.

Ketidaktahuan sebagai Sifat Mustahil bagi Allah

Ilm berlawanan dengan Jahl atau ketidaktahuan, sebuah sifat mustahil bagi Allah SWT. Ketidaktahuan merupakan bentuk kekurangan, sedangkan seluruh sifat ketuhanan bersifat sempurna. Para ulama menekankan bahwa karena Allah adalah sumber segala ilmu, maka mustahil Dia memiliki kekurangan dalam pengetahuan.

Imam Al-Tahawi dalam Aqidah al-Tahawiyyah menulis, “Allah mengetahui tanpa perlu belajar, dan Dia menetapkan segala sesuatu berdasarkan ilmu-Nya.” Imam Al-Ghazali dalam Al-Maqsad al-Asna juga menjelaskan, “Ilmu Allah tidak seperti ilmu manusia. Kita mengetahui sesuatu setelah sebelumnya tidak tahu, sedangkan Allah telah mengetahui segala sesuatu tanpa permulaan.”

Penegasan kedua ulama besar ini menunjukkan perbedaan mendasar antara ilmu Tuhan dan ilmu manusia. Pengetahuan manusia berkembang melalui proses belajar, pengalaman, dan waktu, sementara ilmu Allah sempurna dan tidak bergantung kepada sebab apa pun.

Dimensi Etis: Ilm Membentuk Karakter dan Perilaku

Keyakinan terhadap sifat Ilm bukan sekadar doktrin intelektual, tetapi memiliki dampak moral yang sangat kuat. Kesadaran bahwa Allah mengetahui setiap kata, tindakan, dan lintasan hati mendorong umat Islam untuk bersikap jujur, amanah, dan penuh integritas. Ia menjadi pengingat bahwa tidak ada ruang bagi kepura-puraan, sekaligus peneguh bagi keikhlasan.

Lebih jauh, sifat Ilm memberikan inspirasi bagi manusia untuk menghargai pengetahuan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim” (HR. Ibn Majah). Hadis ini mengikat erat antara sifat Allah yang Maha Mengetahui dan dorongan bagi manusia untuk terus belajar, meneliti, dan memahami realitas.

Nilai Peradaban dari Ilm

Dalam konteks kehidupan modern, pemahaman terhadap sifat Ilm dapat menjadi energi moral bagi umat Islam untuk menjalani hidup dengan disiplin dan orientasi tujuan yang jelas. Ia mengokohkan dorongan untuk berlaku jujur dalam bekerja, tekun dalam belajar, dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, Ilm bukan hanya sifat ketuhanan yang sempurna, tetapi juga nilai peradaban yang menuntun manusia menuju kebaikan, keadilan, dan kemanusiaan.

Melalui keyakinan ini, umat Islam memahami bahwa ilmu adalah cahaya. Dan karena Allah adalah sumber cahaya itu, maka setiap upaya menuntut ilmu—baik dalam agama maupun sains—merupakan bagian dari perjalanan spiritual yang menghadirkan kedekatan dengan-Nya. Dengan demikian, Ilm menjadi bukan sekadar konsep teologis, tetapi pilar etika dan budaya bagi masyarakat Muslim.@

 

Kenzie Iba Saputra Lenggana saat ini tercatat sebagai siswa SMA kelas 10 di Sekolah Internasional Bakti Mulya 400 Cibubur, dan tulisan ini merupakan artikel yang dihasilkannya dalam mata pelajaran Akidah dan Akhlak yang ia ikuti di kelas.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *