ACADEMICS.web.id – Begini… saya tergelitik untuk menulis pengalaman beberapa hari ketika melakukan kunjungan ke beberapa sekolah terkait dengan tugas sebagai Sekretaris Dewan Pendidikan Kota. Banyak topik yang didiskusikan bersama para rekan kepala sekolah, guru, dan bahkan pihak yayasan yang menyelenggarakan pendidikan untuk menjadi bahan pemikiran peningkatan mutu pendidikan. Salah satunya adalah yang akan saya bentangkan berikut ini.
Saya ingin mengajak kita semua, terutama para guru, untuk sejenak merenung, berkontemplasi, dan mulai melihat persoalan yang terjadi di dalam kelas secara lebih jujur. Sebab, saya sering menemukan bahwa setiap kali ada dinamika negatif atau masalah dalam kelas — siswa tidak memperhatikan penjelasan guru, sibuk bermain sendiri, atau bahkan bersikap tidak disiplin — reaksi pertama yang muncul hampir selalu sama: siswanya nakal. Padahal, kalau mau sedikit jujur, kadang masalahnya bukan di mereka, tapi pada kelasnya. Lebih tepatnya, pada bagaimana kelas itu dikelola.
Sering kali kita terjebak pada istilah Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sebagai sesuatu yang mekanis—guru mengajar, siswa belajar, selesai. Padahal, KBM juga soal bagaimana kelas dikelola sebagai sebuah ekosistem. KBM sejatinya adalah proses sosial dan psikologis yang sangat kompleks. Ia melibatkan emosi, dinamika, dan interaksi antara individu yang berbeda karakter. Posisi guru bukan hanya penyampai materi, tapi pemimpin, pengatur ritme, sekaligus pengarah suasana. Maka tidak berlebihan jika teori manajemen kelas menegaskan bahwa keberhasilan sebuah KBM jauh lebih ditentukan oleh kemampuan guru menguasai kelas, bukan sekadar kepiawaian menjelaskan materi. Sering saya katakan diberbagai kesempatan bahwa kelas bukan tempat guru berbicara, tapi tempat semua yang hadir di dalamnya belajar bersama.
Kita sering mengeluh bahwa siswa zaman sekarang makin sulit diatur. Tapi coba kita balik pertanyaannya: apakah kita sudah benar-benar mampu mengatur kelas kita sendiri? Sering kali, guru datang ke kelas dengan asumsi bahwa cukup dengan men-deliver materi, KBM akan berjalan baik. Padahal, siswa itu bukan harddisk kosong yang siap diisi. Mereka bisa saja datang dengan pikiran yang sedang kacau, emosi yang naik-turun, dan energi yang bisa berubah setiap menit.
Guru yang tidak memahami dinamika ini akan mudah frustrasi. Lalu menyimpulkan: “Anak-anak sekarang susah diatur.” Padahal, yang sebenarnya terjadi, kelasnya tidak dikelola. Kelas yang tidak dikelola dengan baik, pada akhirnya akan mengelola gurunya. Ia akan menciptakan suasana yang liar, membuat guru kehilangan arah, dan akhirnya menyerah pada rutinitas mengajar tanpa ruh.
Masalah lain yang lebih serius adalah, sorry to say, banyak guru yang enggan mengakui kelemahan dirinya sendiri. Padahal, tidak semua bentuk ketidakdisiplinan siswa lahir dari niat membangkang. Banyak yang hanya reaksi dari kejenuhan, kebosanan, atau kurangnya engagement dengan guru. Tapi alih-alih memperbaiki pendekatan, guru sering memilih jalan pintas: membatasi, melarang, dan menghukum.
Contohnya sederhana. Ada siswa yang ketahuan membaca komik saat jam pelajaran. Maka solusi yang diambil sekolah adalah: “Larangan membawa komik ke sekolah.” Selesai. Tapi apakah dengan begitu masalah selesai? Tidak juga. Karena akar masalahnya bukan pada komiknya, tapi pada mengapa siswa itu merasa perlu mencari hiburan di tengah pelajaran. Kalau manajemen kelas diterapkan dengan baik, siswa akan dengan sendirinya paham kapan saatnya serius dan kapan boleh santai — tanpa perlu papan larangan di setiap sudut kelas, tanpa larangan, tanpa razia atau sebagainya.
Kita kadang lupa bahwa mengajar itu bukan hanya menyampaikan isi buku, tapi mengelola suasana hati manusia. Guru yang hebat bukan yang bisa menjelaskan dengan cepat, tapi yang bisa membuat siswa betah mendengar. Bukan yang bisa memaksa murid diam, tapi yang mampu membuat mereka ingin mendengarkan. Di sinilah manajemen kelas menjadi ruh dari seluruh proses pendidikan di ruang belajar.
Sayangnya, kemampuan ini tidak otomatis tumbuh bersama gelar akademik atau lamanya pengalaman mengajar. Ia perlu dilatih, dipelajari, dan diinternalisasi. Tapi entah kenapa, dalam sistem pendidikan kita, pelatihan “Manajemen Kelas” sering kali dipinggirkan. Mirisnya lagi, dalam rekrutmen guru, yang dinilai pada tahap micro teaching hanya pada sisi cara mengajar semata, tidak menyentuh sampai hal-hal yang terkait bagaimana calon guru itu “mengelola kelasnya”. Padahal, tanpa manajemen kelas, semua teori pedagogi hanyalah konsep kosong. Karena yang terjadi di ruang kelas tidak sesederhana PowerPoint yang kita tampilkan.
Mari kita refleksikan, sebagian dari kita mungkin terlalu sibuk menuntut murid agar berdisiplin, tapi lupa menata diri agar lebih reflektif. Kita menuntut murid agar patuh, tapi lupa bahwa kepatuhan tidak lahir dari tekanan, melainkan dari rasa hormat dan kenyamanan. Siswa tidak akan fokus hanya karena takut dimarahi. Mereka akan fokus kalau mereka merasa dilibatkan dan dihargai.
Manajemen kelas bukan sekadar teknik “mengatur anak agar tidak ribut”, tapi tentang menciptakan ruang belajar yang hidup, menyenangkan, dan bermakna. Ketika itu tercapai, siswa tidak akan butuh lagi peraturan yang mengekang, karena mereka sendiri yang akan menjaga suasana belajar tetap kondusif.
Kita mungkin perlu berhenti sejenak menyalahkan siswa, lalu mulai bertanya: sudahkah kita benar-benar memahami kelas kita sendiri? Sebab kelas yang baik bukanlah yang paling tenang, tapi yang paling hidup. Dan guru yang baik bukanlah yang paling berwibawa, tapi yang paling mampu membuat siswanya merasa aman untuk belajar.
Wallahu a‘lam bishshawab.
Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D adalah Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, di IRDAK Institute of Singapore, di Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS), Anggota ICMI Prov. Kepri, Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Prov. Kepri, dan juga aktif menulis mengenai isu-isu pendidikan selain politik, sosial, dan ekonomi.


















