ACADEMICS.web.id – Menjelang Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, ada satu kebiasaan yang, sayangnya, mulai redup dalam kesadaran sebagian umat Islam: puasa di hari-hari mulia. Padahal, inilah momen-momen emas yang oleh para ulama disebut sebagai waktu-waktu istimewa, yang tak dimiliki oleh hari-hari lainnya. Ibarat musim semi dalam ibadah, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah ladang pahala yang terbuka lebar.
Berpijak pada hasil sidang isbat Kementerian Agama, 1 Dzulhijjah 1446 H jatuh pada Rabu, 28 Mei 2025. Maka, sejak hari itu, pintu amal mulai terbuka—dari puasa, dzikir, sedekah, hingga takbir yang kelak bergema di langit malam Idul Adha. Bagi mereka yang ingin mendekat kepada Allah dengan cara yang lebih tenang dan pribadi, puasa sunnah adalah pilihan istimewa.
Tiga hari yang sangat dianjurkan untuk berpuasa dalam rentang ini adalah:
- Puasa Dzulhijjah: sejak 1 sampai 7 Dzulhijjah
- Puasa Tarwiyah: 8 Dzulhijjah, yakni Rabu, 4 Juni 2025
- Puasa Arafah: 9 Dzulhijjah, Kamis, 5 Juni 2025
Sedangkan Hari Raya Idul Adha akan jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025, dan tiga hari setelahnya adalah Hari Tasyrik, di mana umat Islam diharamkan berpuasa sebagai bentuk syukur dan perayaan.
Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan sekadar simbolitas ibadah. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa puasa Tarwiyah menghapuskan dosa setahun, sedangkan puasa Arafah menghapuskan dosa dua tahun—yang lalu dan yang akan datang. Hadits ini memang masih diperdebatkan kekuatannya oleh sebagian ulama, namun mayoritas tetap sepakat akan keutamaan dua hari ini, terutama karena posisinya dalam bulan Dzulhijjah yang dimuliakan.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah selain amal yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Para sahabat pun bertanya, “Termasuk jihad di jalan Allah, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ya, termasuk jihad, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu tidak kembali, yakni syahid.” (HR Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa kemuliaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terletak pada terkumpulnya empat jenis ibadah utama: shalat, puasa, sedekah, dan haji. Kombinasi yang langka, tidak ada pada bulan lainnya.
Adapun puasa Arafah, yang dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah, memiliki nilai spiritual tersendiri. Bagi yang tidak sedang menunaikan haji, ini adalah bentuk solidaritas ruhani kepada jutaan jamaah yang sedang berkumpul di padang Arafah, memohon ampunan dengan linangan air mata. Kita yang di rumah, bisa ikut terlibat—bukan dengan fisik, tapi dengan hati dan puasa.
Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Nabi SAW bersabda:
“Puasa hari Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Bahkan Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asnal Mathalib menambahkan bahwa hari Arafah adalah saat Allah paling banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka. Maka, puasa pada hari ini menjadi semacam “penggugur kolektif” untuk dua tahun kehidupan seorang muslim.
Dan ya, jangan lupakan niat. Sebagaimana puasa lainnya, niat puasa Dzulhijjah, Tarwiyah, dan Arafah dilakukan pada malam hari—sejak matahari terbenam hingga sebelum terbit fajar. Berikut adalah lafaz niat yang bisa kita panjatkan:
- Niat Puasa Dzulhijjah (1–7 Dzulhijjah):
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ ذِيْ الْحِجَّةِ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma syahri dzilhijjah sunnatan lillâhi ta‘âlâ
“Saya niat puasa sunnah bulan Dzulhijjah karena Allah Ta’ala” - Niat Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah):
نَوَيْتُ صَوْمَ تَرْوِيَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillâhi ta‘âlâ
“Saya niat puasa sunnah Tarwiyah karena Allah Ta’ala” - Niat Puasa Arafah (9 Dzulhijjah):
نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma arafata sunnatan lillâhi ta‘âlâ
“Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah Ta’ala”
Dalam suasana menjelang Idul Adha ini, kita sering disibukkan dengan persiapan kurban, undangan panitia, hingga daftar nama mustahik. Namun jangan sampai momen untuk menghidupkan kembali ibadah ruhani kita terlewat begitu saja. Puasa sunnah adalah ibadah sunyi yang tidak tampak, tapi menggetarkan langit. Tak perlu banyak kata, cukup satu niat: mendekat kepada Allah.
Kita tidak sedang mengejar angka, tapi ridha. Tidak mengejar formalitas, tapi hakikat. Maka, bila tak mampu membawa pedang ke medan jihad, bawalah tekad ke dalam ibadah sunyi ini. Sebab barangkali, di hari Arafah itulah, nama kita disebut oleh malaikat sebagai hamba yang kembali.
Wallahu A’lam bi ash-Showab.@