Juli dan Menunggu Gajian: Sebuah Puisi untuk Dompet yang Lapar

By Inayatullah Hasyim

banner 468x60

ACADEMICS.web.id

1.
Juli adalah bulan yang panjang
antara tanggal tua dan gajian,
ada jurang bernama “esok dulu”
dan jembatan dari kawat tipis
bernama “kredit sampai nanti”.

banner 336x280

2.
Dompetku mengempis lesu,
berbaring di tas seperti ikan asin,
sementara notifikasi e-banking
diam seribu bahasa.

3.
Di warung kopi dekat kantor,
kami bersaudara dalam kemiskinan sementara:
“Minumnya kopi hitam saja, Bang,”
“Nasi padangnya tanpa daging hari ini,”
“Tahu goreng dua biji cukup.”
Kami pura-pura diet,
padahal dompet kami sedang pingsan.

4.
Hari-hari dihitung dengan ritual:
– Cek rekening jam 00.01
– Hitung mundur tanggal merah di kalender
– Buka aplikasi pinjol, lalu tutup lagi
sambil bergumam “nanti saja kalau benar-benar darurat”
(tapi sebenarnya sudah darurat sejak kemarin)

5.
Teman kantor berbisik:
“Gajian itu mitos, bro,
seperti hantu—
banyak yang percaya, tapi tak pernah benar-benar datang.”
Aku tersenyum,
sambil menghitung receh di celana
untuk ongkos pulang.

6.
Dan ketika akhirnya gaji itu datang—
kami berhamburan ke ATM seperti zombie lapar,
menyembah mesin yang mengeluarkan uang,
lalu besoknya kembali miskin lagi,
karena utang dan nafsu yang tak terbendung.

7.
Juli mengajari kita satu hal:
bahwa gajian itu seperti hujan di musim kemarau—
ditunggu-tunggu,
tapi selalu lebih cepat menguap
daripada membasahi bumi.

 

Catatan:
Puisi ini sebaiknya dibaca sambil menikmati sepotong roti yang tanggal kadaluarsanya hari ini. Itupun hasil beli diskon setengah harga dari toko roti tadi malam.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *