ACADEMICS.web.id – Apa sesungguhnya yang dimaksud bid’ah? Bid‘ah sering diartikan dengan perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, tetapi dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam periode sesudah beliau wafat.
Perbuatan bid’ah dibatasi pengertiannya dalam urusan penambahan atau pengurangan ibadah khusus (mahdhah).
Misalnya, seseorang menambah jumlah rakaat shalat subuh menjadi empat rakaat atau mengurangi rakaat shalat Isya menjadi tiga rakaat.
Termasuk juga kategori bid’ah menambah variasi shalat di luar ketentuan dan penggarisan Rasulullah SAW.
Hukum bid’ah tegas dinyatakan dalam hadis sebagai sesuatu yang menyesatkan, sebagaimana hadis Nabi: Kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatinfial–nar(Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu kelak ke Neraka).
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid’ah ini:
- Bid’ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid’ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih: “Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya.”
- Bid’ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
- Bid’ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum’at.
- Bid’ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur`an.
- Bid’ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid’ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid’ah ini ada dua pandangan para ulama:
pertama, seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid’ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid’ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid’ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid’ah yang tercela apalagi sesat.
Kedua, pandangan perincian macam-macam bid’ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam ia pun menjelaskan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid’ah, sekalipun hal itu bid’ah menurut bahasa. (lih. Jami’ Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid’ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid’ah yang sesat dan fasiq hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah ini pun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.@
Penulis: