ACADEMICS.web.id –
Aku memintamu dalam bahasa Urdu yang patah,
sementara jari-jarimu menari di kalkulator
menghitung diskon di toko Old Books
tempat kita pertama bertemu pada hari Jumat.
Lalu, kau ajarkan aku angka Mandarin,
sementara hujan di luar jendela
menulis puisi di aspal
dengan aksara yang tak bisa kubaca.
Aku tahu kau ditunggu seseorang di Xinjiang,
dan ayahmu mengirim paket teh
setiap bulan purnama.
Tapi di sini, di antara rak-rak buku agama,
kita curi pandang
seperti dua ayat yang salah terjemah.
北京小姐,
bisakah kau terjemahkan rindu ini
ke dalam bahasa apa pun
yang tak membuatku malu?
Aku akan menunggumu sampai musim dingin,
sampai bordiran di bajumu
kembali ke kota tua di Sichuan,
sampai toko ini tutup
dan Al-Qur’an terakhir terjual
tapi jangan katakan “Zài jiàn”,
karena aku sudah hafal
betapa pedihnya kata itu
di mulut seseorang
yang tak akan pernah kembali.
Catatan:
Untuk seorang teman yang telah menulis waktu dengan berjuta kenangan, termasuk ketika dia menggantungkan kalung emas mahar perkawinan di saku levisnya